Selasa, Januari 03, 2006

Ketika Anak Belajar

Seorang anak kecil, katanya, akan belajar dan segera mempraktekkan apapun yang ia lihat dan dengar dari sekitarnya. Tak peduli apakah hal itu adalah kebaikan atau keburukan. Mereka memang suka meniru. Tanpa saat itu memiliki pemahaman mengenai hal yang ditiru.

Suatu hari, terjadi sebuah kerusuhan kecil di rumah tante saya. Entah apa sebabnya, yang jelas sepulang dari sana, ibu saya bercerita dengan sedikit heboh, bahwa tante saya baru saja memukul anak laki-laki pertamanya sampai menangis keras. Saya ternganga. Waktu itu, sepupu saya itu baru berusia empat tahun.

Hari itu mungkin adalah awal dari kebiasaan yang tercipta. Pola asuh yang diterapkan oleh tante saya itu kemudian berkembang menjadi sebuah lingkaran tindak kekerasan yang entah disadarinya entah tidak. Mengapa saya katakan lingkaran? Sebab rasanya bila sekali sudah dilakukan, ia tak bisa dihentikan untuk kemudian hari. Sekali menjadi awalan, lama-lama menjadi kebiasaan. Maka, hal ini seharusnya menjadi pelajaran untuk sebuah pengendalian emosi.

Hari yang lain lagi, beberapa tahun kemudian, anak pertama tante saya itu memiliki seorang adik laki-laki. Perhatian keluarga kami sedikit lebih banyak tercurah pada sang adik. Saya dan ibu sempat berpikir, mungkin perilaku tante saya tersebut akan berubah ketika sudah melahirkan anak kedua. Tetapi pikiran kami itu tak berlangsung lama. Sebab ternyata kebiasaan tetaplah kebiasaan. Entah mengapa tak ada satu pun dari kami yang berhasil membantu tante saya untuk merubah perilakunya.

Malam itu, kedua sepupu saya dititipkan di rumah, sebab orang tuanya ada acara hingga malam hari. Sekitar pukul delapan malam, tante saya menelpon dan memarahi anak sulungnya. Entah oleh sebab apa, hingga ia akhirnya menangis tersedu-sedu. Kami semua kebingungan. Dan memutuskan untuk segera mengantarnya pulang karena ternyata kedua orang tuanya sudah di rumah. Adik saya, yang akhirnya mengantarnya pulang, membawa cerita pada saya dan ibu.

Si sulung ini, di perjalanan menuju rumahnya yang hanya beberapa blok jauhnya, memegangi tangan adik saya sepanjang perjalanan sambil masih terisak. Entah apa yang membuatnya begitu takut. Begitu kesan yang ditangkap oleh adik saya saat itu. Saat hampir sampai di rumahnya, ia berhenti tiba-tiba dan berkata pada adik saya,
"Kak, berhenti dulu dong. Aku mau muntah."

Adik saya hanya terbengong melihat si sulung ini yang langsung berlari menuju selokan sebuah rumah, dan memuntahkan hampir semua isi perutnya. Setelah puas, ia melanjutkan perjalanan dan isak tangisnya pun reda.

Saya bukan seorang dokter atau psikiater yang bisa mendeteksi kondisi fisik maupun kejiwaan yang terjadi pada sepupu saya. Yang saya tahu adalah, setiap kali ia merasa tertekan, tegang, takut karena dimarahi oleh ibunya, ia tak pernah puas sampai bisa muntah. Bahkan di banyak kesempatan, ia sering mencari alasan untuk membuat ibunya marah, kemudian menumpahkan kekesalan dengan memukul dirinya sampai puas. Sampai ia menangis, dan seringkali sampai muntah pula.

Awalnya saya pikir hal ini hanya akan terjadi pada diri si sulung saja. Sebab menurut apa yang saya amati, tante saya itu tak melakukan kekerasan yang sama pada anak bungsunya. Saat itu saya sedikit berlega hati, bahwa si bungsu tak akan mengalami hal yang dialami abangnya.
Dugaan yang Salah
Sore itu, ibu saya baru saja kembali dari rumah tante saya. Seperti biasanya, ibu selalu mengunjungi mereka hampir setiap dua hari sekali. Sekedar untuk bermain-main dengan keponakannya yang paling kecil. Adik si sulung. Sore itu, sekali lagi ibu pulang dengan membawa cerita. Rafi, si bungsu, menangis keras saat ibu sampai di rumahnya. Seperti biasa, tidak ada orang, kecuali Rafi dan abangnya serta pembantu.

"Pas mama datang, si Rafi langsung ngadu sambil meluk mama. Katanya abangnya baru aja mukulin dia. Ditendang juga katanya."

Saat itu, ingin rasanya saya menyumbat kedua telinga saya. Takut untuk mendengar cerita selanjutnya. Hal yang dikhawatirkan rupanya terjadi. Dan ternyata kejadian seperti ini tak hanya sekali. Ketika kami berusaha menanyakan sikap si sulung tersebut, anak laki-laki yang baru berusia sembilan tahun itu menjawab,

"Aku juga digituin sama mama. Jadi, adek juga harus gitu." Ketika seorang anak belajar, maka ia akan menangkap apapun dengan segera, merekamnya baik-baik dalam kepala mungilnya, dan mempraktekkannya. Tak usah heran, ketika suatu saat mereka mengatakan atau berbuat sesuatu yang tak pernah kita sangka bahwa seorang anak kecil mampu mengucapkan atau melakukannya. Tak usah heran, sebab mungkin perkataan itu mereka dengar dari kalimat yang kita ucapkan. Tak usah menyesal, sebab bisa jadi perilaku mereka tersebut adalah cermin dari apa yang telah kita lakukan sendiri.

Tidak ada komentar: