Suasana kereta Kahuripan tampak lengang. Yang terdengar adalah suara berisiknya roda yang bergesekan dengan rel. Sesekali memang ada suara manusia yang nadanya sama, menawarkan minuman penghangat tubuh. Digerbong ke-5, aku duduk berhadapan dengan seorang wanita muda berpakaian seadanya. Posisi tidurnya tak menentu, kakina kesana-kemari. Akhirnya malam itu kuhabiskan untuk sekedar berfikir apa yang akan kulakkan ketika tiba di Yogyakarta.8 Jam sudah berlalu. Kereta tak terasa lajunya.Tepat waktu subuh di Lempuyangan, stasiun kereta api kelas ekonomi, kini tumpah ruah ratusan kepala beserta tubuh lelahnya dan barang-barang yang menghiasi genggaman mereka. Penumpang tetap satu tujuan, yaitu kamar mandi. Sudah sewajarnya penumpang memilih kamar mandi sebagai tempat pertama yang dikunjungi penumpang kereta pada umumnya, karena -bukan rahasia umum- kamar mandi di kereta (bahasa halus dari WC) benar-benar tak nyaman lagi. Beda lagi dengan kamar mandi kereta eksekutif.Antrian dikamar mandi begitu panjang. Lima pintu yang tersedia sudah berbaris didepannya laki-laki dan perempuan. Satu orang masuk, yang lain menunggu. Jika didalam WC orang itu terlalu lama, maka suara bernada agak tinggi akan terdengar "Antri nih mas...!!".Kini giliranku. Aku hanya berniat untuk wudhu karna memang tidak ada rasa untuk buang air kecil, apalagi besar dalam kondisi antri seperti itu.Pintu tak kututup sebagaimana orang lain menutupnya, itu kulakukan agar yang antri dibelakangku menjadi saksi bahwa aku hanya wudhu dalam kamar mandi. Selesai.Kuberjalan dengan santai melewati petugas yang tak jauh dari jarakku. Kerumunan antrean menuju kearahku seketika setelah terdengar suara khas penjaga WC "Mas, bayarnya mas..", "saya cuma wudhu pak" jawabku. "Ya tetep bayar mas, ini temapat bisnis" sahutnya lebih keras. "Lho, kan saya disuruh orang masjid supaya wudhu disini, air disana lagi mati" jelasku dengan tenang. Kerumunan antrian makin asyik memandang kami. Tidak ada yang berani memisahkanku meskipun kami sekedar perang mulut.Penjaga WC kemudian menjawab perkataanku dengan langsung berdiri dan bermuka sangat marah "B....... (*** edited) kamu, masih kecil dah bisa ngelawan yang tua, emangnya kamu yang ngasih aku duit, emangnya Tuhan kamu yang bayar WC!!". Dalam kondisi seperti itu, aku khawatir menjadi korban pengeroyokan, maklum, daerah itu bukan tempat yang biasa kulewati, jadi wajahku dilihatnya asing, walaupun aku sering memakai jasa kereta ekonomi.Segera kuambil sepuluh lembar uang seribu rupiahan "Baiklah pak, ini saya infaq buat njenengan, kalau bapak muslim jangan lupa sholat, mudah-mudahan rizki bapak bisa banyak dan berkah..". Omonganku yang terakhir ini tidak dibantah, jelas, karena aku ngomong sambil memberikan uang.Seusai sholat, aku melewati kamar mandi itu lagi. Bapak penjaga WC memandang sepintas setelah itu menunduk. Entah mengapa setumpukan uang seribu rupiah yang sedang dihitungnya itu dianggapnya lebih penting daripada persahabatan dan perbekalan untuk waktu yang lebih kekal. Duh manusia zaman sekarang, seperti inilah contoh kecilnya. Semoga Allah memberinya hidayah kepada seluruh umat yang terlena dengan kebahagiaan semu.
Senin, Februari 13, 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar