Selasa, Februari 21, 2006

Aku Mencintaimu Ma..

Siang itu dalam kereta tujuan Freiburg*.
Di dalam gerbong kereta, anak laki-laki 3 tahun itu tampak begitu resah, tak sabar, ingin segera sampai di tujuan. Sesekali melirik ibunya di samping, yang tampaknya sadar kegelisahan si kecil. Berkali-kali pertanyaan kapan tiba di tujuan selalu ditanyakan.

"Mama, mama bawa biskuit gak?" Sang Mama mengangguk singkat.
"Biskuit yang mana Mama?" desaknya lagi
"Yang ada coklat dan kacangnya".
"Nanti yah...sekalian kalau sudah sampai. Sebentar lagi kok" tambah sang Mama. Si kecil mengangguk.
"Mama?" kata anak itu kembali.
"Yah?" kali ini ada sedikit nada tidak sabar dalam suaranya.
"Mam, ich habe dich sehr lieb! (aku sangat mencintaimu Mama!)" senyumnya mengembang.
Ibunya tersenyum mengangguk.

Penumpang lainnya tersenyum mendengarnya. Saya pun turut merasakan kebahagiaan yang saya yakin sekali pasti dirasakan sang Ibu.

Pemandangan yang mungkin masih jarang ditemui di tanah air. Bukan tidak ada, tapi masih jarang sekali. Ekspresi rasa sayang, rasa cinta sang anak yang begitu lugas, lepas pada ibunya. Bagaimana seorang anak bisa demikian bebas mengungkapkannya? Semuanya tergantung dari kita, orangtuanya.

Menjadi bukan hal yang lumrah jika kita orang tua juga tidak biasa mengungkapkan rasa sayang kita kepada mereka. Bagaimana mungkin bisa melakukannya, jika bagi kita sendiri ungkapan rasa cinta bukanlah suatu hal yang harus diverbalisasikan. Ada tembok kesungkanan, atau merasa aneh, ketika rasa cinta harus dilontarkan. Tabu.

Tak dipungkiri bahwa tanpa diungkapkan pun, seorang Ibu, seorang Ayah pastilah mencintai anak-anaknya. Sudah menjadi kodrat/fitrah kenyataan tersebut ada. Dari semua hal yang dilakukan orang tua kepada anaknya, mulai dari merawat, membesarkan, bermain bersama, mendidik, juga menasehati, semuanya tercurah luapan rasa kasih sayang.

Seberapa pentingkah pengungkapan tersebut? Saya pribadi melihat, kebisaan melakukan pengungkapan rasa cinta, rasa sayang hanya sepersekian persen dari kemampuan pengungkapan rasa lainnya.

Apabila ananda kita mampu belajar memformulasikan kehendak, semua perasaan dalam bentuk kata-kata, mereka akan lebih cerdas secara emosional dan sosial, insya Allah, akan lebih ringan menjalani kehidupan kelak. Kemampuan berkomunikasi secara verbal menunjukkan tingkat kecerdasan emosional seseorang.

Lawrence E: Shapiro, dalam bukunya yang terkenal, How to Raise a Child with a High EQ, mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional adalah ketika kita mampu menguasai emosi dan segala perasaaan. Ketika seorang anak mampu mengenali kemudian menyampaikan emosinya, tahapan menguasai emosi akan dia raih.

Sebagai orangtua yang bisa dilakukan adalah membantu anak kita untuk memverbalisasikan perasaan sebagai salah satu cara bagi sang anak kelak dalam menghadapi konflik dan memenuhi kebutuhan mereka.

Melatih mereka mengungkapkan perasaan berikut di dalamnya perasaan sayang, berarti membantu anak kita berkomunikasi secara verbal dengan lebih baik. Kita latih mereka untuk mengungkapkan tidak saja rasa sayang mereka, tapi juga rasa yang ada ketika mereka sedih, marah, kecewa, frustasi. Kita membuka lembaran diskusi yang buat mereka tidak sulit untuk terlibat di dalamnya.

Tidak mungkin mereka dapat melakukannya kalau contoh nyata dari kita pun tidak mereka dapatkan. Ajak mereka bicara dari hati ke hati. Percayalah, telinga si kecil selalu terbuka lebar dan menyerap banyak tanpa kita bisa duga.

Bayangkan, senangkah jika pasangan kita atau bahkan orangtua kita mengatakan, "Aku mencintaimu". Walaupun sungguh! kita sudah mengetahuinya sejak dahulu. Satu kalimat yang saya percaya membawa banyak, banyak sekali perubahan yang tak dinyana-nyana di dalamnya.

Nah, kenapa tidak kita lakukan itu pada anak kita. Kalaulah sering dituliskan" Sudah engkau ungkapkan rasa sayang hari ini pada pasanganmu?" Kenapa tidak ditambah, Sudahkah kita menyatakan rasa cinta kita hari ini pada sang buah hati?
*Freiburg, kota kecil di selatan Jerman

Tidak ada komentar: