Suatu hari, salah seorang teman bercerita via email pada saya. Begini kurang lebih ceritanya:
Alhamdulillah, hingga hari ini aku adalah ibu yang cukup berbahagia setelah kurang lebih tujuh tahun menikah. Aku punya tiga anak yang manis dan lucu-lucu. Suamiku juga memiliki peghasilan yang cukup untuk kebutuhan kami sekeluarga. Tambahan lagi, aku juga masih bekerja sebagai seorang customer service pada sebuah bank swasta nasional yang cukup besar. Aku adalah ibu kelas menengah di kota metropolis yang bahagia.
Alhamdulillah, hingga hari ini aku adalah ibu yang cukup berbahagia setelah kurang lebih tujuh tahun menikah. Aku punya tiga anak yang manis dan lucu-lucu. Suamiku juga memiliki peghasilan yang cukup untuk kebutuhan kami sekeluarga. Tambahan lagi, aku juga masih bekerja sebagai seorang customer service pada sebuah bank swasta nasional yang cukup besar. Aku adalah ibu kelas menengah di kota metropolis yang bahagia.
Akhir minggu, masih bisa kami lewatkan bersama untuk sekedar jalan-jalan ke mall atau makan-makan di suatu tempat. Tak penting murah atau mahal, yang penting adalah kami sekeluarga bisa menikmati kebersamaan.
Tapi akhir-akhr ini, sebuah rasa yang asing menghantuiku terus menerus. Membuat tidurku menjadi tidak nyenyak dan makanku jadi kurang berselera. Tambahan lagi, aku bawaannya jadi marah-marah melulu, uring-uringan. Padahal aku tahu pasti juga bahwa aku sedang tidak hamil, karena aku baru saja selesai haid dua hari lalu.
Rasanya aku jadi begitu jenuh dengan semua yang selama ini yang aku miliki dan aku lakukan. Aku seperti kehilangan begitu banyak waktu dalam hidupku. Aku menjadi sebuah mesin dari hidupku sendiri.
Aku tidak lagi bisa menikmati duduk-duduk di atas atap rumah seperti waktu aku kecil dulu. Biasanya aku dulu senang sekali duduk di atap rumah sambil memandangi bintang-bintang di langit malam. Aku tak lagi bisa bebas berkejar-kejaran dengan bebek-bebek yang diternakkan ibuku di kampung dulu. Aku tak lagi bebas menaiki punggung kerbau atau berkubang sambil memandikan hewan gendut itu. Aku tak bisa lagi bermain di bawah sinar bulan purnama bareng teman-teman kecilku.
Ke Mana Saat Indah itu Pergi?
Hingga ku tersadar aku telah begitu tua. Anakku yang sulung saja sudah TK besar. Teman sepermainanku bahkan ada yang telah mendahuluiku pergi menghadap Yang Kuasa. Aku jadi begitu rindu semua kebebasan yang kumiliki ketika aku masih kanak-kanak dulu. Aku ingin kembali...
Kueja sedihku dan rinduku saat anakku yang sulung berkata padaku, "Mama, aku ingin jadi kondektur metro mini saja".
"Mengapa kondektur, sayang?" tanyaku tak mampu menyembunyikan keterkejutanku. "Karena dia bebas naik metro mini dan nggak bayar, malah dia dapet uang. Nggak kayak kita harus ditagih-tagih segala," jawab cintaku itu polos.
"Mama, aku ganti cita-cita. Mau jadi tukang es krim aja!" teriaknya lantang, suatu ketika.
"Mengapa, sayang? Kan tukang es krim capek keliling-keliling untuk jualan esnya."
"Biarin, yang penting kakak bebas makan es krim dan nggak dilarang-larang sama mama..."
Rindu itu bernama bebas, kebebasan lengkapnya.
Suatu ketika, menjelang berangkat ke kantor, sulungku dengan seksama memperhatikanku yang tengah memakai jilbab. "Ada apa, kakak cantik?" tanyaku sambil tersenyum.
"Kakak mau deh cepet gede kayak mama. Bosan jadi anak-anak terus," celetuknya tiba-tiba. "Bosan sekolah harus pakai seragam TK Kenari. Bosan direcokin sama adik kecil. Bosan digangguin tangis adik bayi yang gembeng. Bosan minum susu. Bosan ke dokter gigi. Pokoknya kakak bosaaaan... Jadi mama kan enak, udah gede, nggak ada yang atur-atur, nggak perlu main sambil bawa-bawa adik.Jadi orang gede enak, bebas..."
Sambil merasakan sensasi tak terhingga dari perkataannya yang sangat kenes untuk bocah seusianya, kupeluk cintaku erat. Kurasakan ia tertawa-tawa kegelian. Rindu kita sama, anakku, rindu kebebasan yang belum atau justru pernah kita miliki. Sebab kita telah terjenuhkan oleh rutinitas, meski kecil, tapi warnanya sama...
Anakku sungguh telah mengajarkan aku sesuatu. Bahwa pada hakikatnya manusia akan protes terhadap kemonotonan irama. Karenanya ia rindu pada irama lain, irama kebebasan. Kita kira, kita telah pernah meraihnya pada masa kanak-kanak dulu, tapi mereka, kanak-kanak itu, merasa mereka justru akan meraihnya pada saat dewasa kelak. Atau memang ini salah satu ciri manusia yang juga disebut dalam al-Qur'an, bahwa manusia adalah makhluk yang suka mengeluh? By the way, saya jadi ingat puisi Tagore yang berjudul "Panggilan Hidup". Salah satu petikannya berbunyi demikian :
Jika gong berdengung sepuluh kali di pagi hari,
dan aku berjalan menuju sekolah,
bertemulah aku setiap hari dengan penjual kelontong yang berteriak,
"Manik! Manik batu!"
Tak ada yang memburu dia,
tak ada jalan yang harus ditempuh,
tak ada tempat ke mana ia harus pergi.
Aku ingin jadi penjual kelontong
yang menghabiskan hari-harinya di jalanan sambil berteriak,
"Manik! Manik batu!"
dan aku berjalan menuju sekolah,
bertemulah aku setiap hari dengan penjual kelontong yang berteriak,
"Manik! Manik batu!"
Tak ada yang memburu dia,
tak ada jalan yang harus ditempuh,
tak ada tempat ke mana ia harus pergi.
Aku ingin jadi penjual kelontong
yang menghabiskan hari-harinya di jalanan sambil berteriak,
"Manik! Manik batu!"
Jika sore hari pukul empat aku pulang dari sekolah, kulihat dari gerbang masuk tukang kebun sedang menyabit rumput di halaman. Ia bekerja sesuka hatinya, mengotori bajunya dengan debu, berjemur di bawah panas matahari, kehujanan tanpa seorangpun melarangnya. Aku ingin jadi tukang kebun yanag bekerja sesuka hati, dan tak seorangpun melarangku...
Tapi, jikalau begitu, benarkah kebebasan itu menjadi relatif, tergantung siapa yang memandang dari sudut mana ia memandang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar