Coba perhatikan keluhan ibu Fatma ketika ditanya hasil studi anaknya, “Kalau si Andri sih lain, dia anaknya pinter, rajin, tidak seperti Danu. Maklumlah, Danu sebenarnya bukan anak yang nakal dan bodoh-bodoh amat, seperti yang dikatakan ibunya tapi memang kalau dilihat dari prestasinya memang tidak secermelang si Andri teman sepermainannya. Wajarlah, setiap orang bakal senang apabila sebutan “pintar” melekat pada dirinya. Tapi apa benar kepandaian hanya bisa dilihat dari angka-angka yang tertulis dalam rapor sekolah aza? Nanti dulu…
Lain lagi dengan si Nuri yang kalau sudah berkicau dan bergerak, wuah susah untuk diajak diam ditempat. “Padahal kalau diingat-ingat, Nuri itu dulunya bukan tipe anak yang supel seperti sekarang, orangnya pasif banget,” kisah Winda teman dekatnya dari kecil. “Entah mengapa sejak mulai mengenyam perguruan tinggi, kok jadi supel dan agak-agak tenar gitu,” tambahnya.
Nilai dan penyesuian diri terhadap lingkungan, memang dua hal yang berbeda tapi penting. Nilai memang diberikan sebagai penilaian konkrit yang biasa disimbolkan dengan angka. “Cuma terkadang penilaian tiap orang tidak selalu sama, permasalahannya cita rasa orang yang berbeda-beda, “kata mbak Ika psikolog RSCM itu. “Lalu, penyesuaian diri terhadap lingkungan biasanya berbentuk emosi,” tambahnya. Buat lebih memantapkan sejauhmana keterampilanmu dalam urusan penyesuaian diri, dicoba aja ngisi kuis sambungan tulisan ini. Okey?!
Mungkin menjadi orang yang pintar dengan IQ tinggi bukanlah segala-galanya— untuk saat ini atau mungkin baru disadari— menjadikan Kamu sebagai pribadi yang utuh. Mungkin inilah jawabannya mengapa Nuri yang pasif, pendiam bisa berubah ketika masuk ke lingkungan baru menjadi orang yang supel dan pandai bergaul. Itulah EQ (Emotional Quotient) sebagai barometer yang bisa menjadikan Kamu sebagai seorang yang selain berhasil di pekerjaan, juga berhasil dalam bersosialisasi. Pribadi yang pintar, cerdas, dan menyenangkan adalah ‘paket’ ideal bagi seseorang agar sukses dalam menjalani hidup.
Penyebabnya sih, mungkin bisa beragam. Bisa juga karena keinginan pribadi atau juga ada dorongan dari luar pribadinya. Eh, menurut mbak Ika, “EQ itu bisa juga berubah dalam arti bisa mereformasi pribadi seseorang dari yang pasif jadi super aktif atau sebaliknya.” Tentunya dengan berbagai latar belakang yang bersifat agak pribadi seperti emosi yang mungkin bisa terlihat jelas ketika dia bisa memenej suasana hati dan akalnya.
Ternyata benar EQ berperan penting di mana saja. Seperti tempat kerja, dalam keluarga, masyarakat, pengalaman romantis, dan bahkan kehidupan spiritual; kesadaran emosi , membuat keadaan jiwa kita diperhatikan. EQ memungkinkan kita menentukan pilihan-pilihan yang baik tentang apa yang kita makan, siapa yang akan menjadi teman hidup, pekerjaan apa yang kita lakukan, dan bagaimana menjaga keseimbangan antara kebutuhan pribadi kita dan kebutuhan orang lain.
Percaya khan, berurusan dengan emosi memang lain jika dibandingkan bila berurusan dengan nilai konkrit. Makanya mungkin kita boleh mengatakan bahwa emosi dan akal adalah dua bagian dari satu keseluruhan. Itulah sebabnya istilah yang baru-baru ini diciptakan untuk menggambarkan kecerdasan hati adalah EQ. EQ mengingatkan pada ukuran standar kecerdasan otak atau IQ.
Ngomong-ngomong soal kecerdasan hati, jadi ingat dengan hadist yang isinya kira-kira sebagai berikut; Hati adalah segumpal darah yang kalau ia ingin berubah, ia akan mudah dibalikkan seperti tangan yang sangat mudah dibolakbalikkan. Suasana hati hati memang bakal mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. So, kalau lagi BeTe alias enggak mood, hati-hati supaya tidak menyakiti orang lain.
Sebenarnya IQ dan EQ adalah sumber-sumber daya sinergis, tambah Jeanne Segal yang menulis buku Melejitkan Kepekaan Emosional. Tanpa yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak efektif. IQ tanpa EQ dapat membuat anda berhasil meraih A dalam ujian, tetapi tidak akan membuat Anda berhasil dalam kehidupan. Wilayah EQ adalah hubungan pribadi dan antarpribadi; EQ bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi sosial Kamu.
Jeanne Segal, PH. D menambahkan, “Bila EQ Kamu tinggi, Kamu bakal mampu memahami pelbagai perasaan secara mendalam ketika perasaan-perasaan ini muncul, dan benar-benar dapat mengenali diri Kamu sendiri.” Permasalahan semacam ini bakal terlihat misalnya ketika Kita dihadapkan kepada pilihan yang bikin kepala pusing tujuh keliling. Entah kenapa tiba-tiba kita tidak bisa memutuskan mana yang mau dipilih. Percaya deh, semua orang pasti pernah mengalami yang satu ini. Makanya, ketika Kita berada dalam kebimbangan, coba deh shalat istikharah yang dijamin bisa lebih memberikan kekuatan untuk berpikir secara jernih dalam memilih.
Dan solusi konkrit yang paling gampang bisa dengan menjaga jalur-jalur komunikasi tetap terbuka lebar antara amigdala dan neokorteks, ini dapat membantu Kamu menunjukkan bela rasa,empati, penyesuaian diri, dan kendali diri. Satu lagi yang unik, kebiasaan mental yang menghambat kecerdasan salah satunya berkhayal. Pada masa kanak-kanak kita menutupi ketidakberdayaan dan keputusasaan dengan menggunakan pikiran untuk membangun kendala khayal. Ngaku aza, suka ngayal ‘ntar kalau sudah besar mau jadi apa, iya khan? “Itu wajar lho,” kata mbak Ika lagi. Cuma jangan cuma ngayal, tapi buktikan secara konkrit. Jadi, buat apa bergundah-gulana ketika nilai merosot atau impian gagal hanya karena angka? Realistis donk dengan segala kenyataan yang ada and tentunya tetap belajar dan berdoa untuk kebaikan Kamu sekarang dan yang akan datang. OK?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar