Pikiran –pikiran pro dan kontra di kepala Shin terus berperang. Shin dan Reina memasuki sebuah kafe mungil yang cukup bersih di basement bangunan itu. Selain bersama Reina, Shin juga pernah makan beberapa kali dengan Indra di kafe ini, malah menjadi kafe favorit mereka kalau lapar setelah nonton. Aroma aneka makanan langsung menyergap hidung. Shin memilih tempat duduk paling pojok. Reina mengikutinya. Mereka duduk saling berhadapan. Setelah memesan makanan, otak Shin kembali berputar ke rencana yang terbetik di kepalanya tadi. Inilah saatnya Shin!
“Rei….” Shin memulai pembicaraan setelah dua jam di bioskop tadi hampir seluruhnya ia habiskan dengan melamun. Tapi lagi – lagi Kalimat Shin terputus. Shin nggak berani!.
“Ya ?” Reina menunggu kelanjutan kalimat Shin dengan penasaran. Selama beberapa kali bertemu dengan Shin, cowok itu selalu tak banyak bicara. Satu detik, lidah Shin masih kelu. dua detik, tiga detik…
“A… ada nggak orang yang kamu sukai?”
Reina terdiam sejenak. Sedangkan Shin? Shin membayangkan bumi akan runtuh menimpanya.
“A… ada nggak orang yang kamu sukai?”
Reina terdiam sejenak. Sedangkan Shin? Shin membayangkan bumi akan runtuh menimpanya.
“Ada.” Suara Reina membuat bumi benar – benar runtuh di kepala Shin. Hilang sudah kata – kata yang dari tadi disusunnya. Reina memang cantik, pintar dan terkenal di kalangan teman – temannya. Namun walau begitu, gadis itu sangat rendah hati. Pernah sekali Shin melihatnya tengah bercakap – cakap dengan seorang murid yang dianggap aneh oleh marid lain, sehingga tak ada yang mau mendekatinya. Tapi Reina tidak, ia selalu bergaul dengan siapa saja, karyawan sekolah sekalipun! jadi wajar saja lain dari pada yang lain, jadi.. wajar saja ia menyukai atau seseorang menyukainya.. kata hati Shin mencoba menahan sesak di dadanya.
“Siapa?”. Shin tak sabar. Shin memang patah hati, tapi setidaknya ia tahu siapa yang telah memikat hati gadis ini. Mungkinkah Indra? Bukankah Indra pernah menelpon dan janjian dengannya? Ataukah Alvin sang ketua Osis yang kerap menjadi partner kerjanya? Ataukah….
“Kok nanya? Emangnya kenapa? “
Shin menggeleng.
“Rei… kamu tahu nggak?”
Reina menggeleng. Ya, jelas menggeleng, orang belum dikasih tahu! Shin.. Shin…. Reina tersenyum dengan pertanyaan Shin. Ternyata gini ya, Shin kalau sudah panik. Error.
“Lho, terusannya?”
“Ah, nggak, Reina, setelah ini terserah kamu mau benci aku, nggak mau ketemu aku lagi, mau sebel , kesel sama aku atau gimana….”
“Lho emang kenapa Shin? Emangnya kamu punya penyakit menular ya? HIV, AIDS atau ape nie?”. Jawab Reina asal. Duh, orang lagi serius, ni anak kok jadi becanda.
“Bukan.”
“Trus apa? Kamu mau balik ke Jepang?”
“Bukan, karena… karena aku suka sama kamu ” Fffh, terucap juga akhirnya kata – kata itu dari mulut Shin. Ia tak bisa membayangkan merahnya mukanya saat mengucapkan kata – kata tadi, mungkin lebih merah daripada cabai!.
Reina masih diam setelah mendengar ucapan Shin.
“Rei, jawab Rei. Aku siap dibenci, aku siap di tolak, tell me…”
“Emang siapa yang mau nolak kamu Shin?”
“Lho… jadi?” Shin tak percaya dengan pendengarannya. Reina mengangguk meyakinkannya.“Aku Cuma suka aja ngeliat kamu bingung.” Apa? Shin merasa bumi yang tadi runtuh dapat diangkatnya sendirian. Eh, nggak deng! dengan bantuan Indra. Indra, rasanya tak sabar ia menyelesaikan makannya untuk mengucapkan terima kasih kepada sobat jailnya itu. Langit masih cerah memayungi bumi Jakarta, seindah langit di negeri sakura.
“Rei, jawab Rei. Aku siap dibenci, aku siap di tolak, tell me…”
“Emang siapa yang mau nolak kamu Shin?”
“Lho… jadi?” Shin tak percaya dengan pendengarannya. Reina mengangguk meyakinkannya.“Aku Cuma suka aja ngeliat kamu bingung.” Apa? Shin merasa bumi yang tadi runtuh dapat diangkatnya sendirian. Eh, nggak deng! dengan bantuan Indra. Indra, rasanya tak sabar ia menyelesaikan makannya untuk mengucapkan terima kasih kepada sobat jailnya itu. Langit masih cerah memayungi bumi Jakarta, seindah langit di negeri sakura.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar