Nabila gadis mungil berusia tiga tahun yang sangat lincah. Tak ada lemari atau jendela yang belum ia daki. Tak ada teman laki-laki yang belum pernah ia lawan. Sepanjang hari Nabila bermain dengan anak laki-laki. Main perang-perangan, sepak bola, atau layang-layang? Boleh diadu, gadis kecil ini tidak kalah jago dengan anak laki-laki. Kalau berkelahi, Nabila tidak pernah menangis. Paling-paling cuma meringis kemudian berusaha membalas habis-habisan. Dandanan Nabila pun tidak kalah gagah. Celana pendek dan kaos basket tanpa lengan menjadi seragam hariannya. Mamanya kehabisan cara untuk membujuk Nabila berjilbab dan berbaju muslimah. Kalau Mamanya mengeluhkan tingkah Nabila kepada Papanya, si Papa cuma tertawa sambil mengucek-ucek rambut Nabila yang ikal dan dipotong pendek.
Potret Nabila mungkin mengingatkan kita kepada keponakan kita, anak tetangga, atau justru pada putri kita sendiri. Anak perempuan yang berpotongan tomboy mungkin biasa kita temui. Ada yang menanggapinya biasa-biasa saja seperti Papanya Nabila. Ada yang pusing tujuh keliling seperti Mamanya Nabila. Ada juga yang senang mendandani gadis kecil mereka dengan pakaian anak laki-laki.
Anak tomboi bisa disebabkan oleh beberapa hal. Lingkungan bermain, yang didominasi oleh anak laki-laki. Anak perempuan yang kawan bermainnya didominasi anak laki-laki atau saudara laki-laki biasanya akan cenderung beretingkah lebih kelaki-lakian. Bisa juga orang tua yang sangat mengharapkan lahirnya anak laki-laki. Sehingga, ketika lahir anak perempuan lagi, maka anak ini diperlakukan dan didandani sebagai anak laki-laki.
Banyak orang tua yang perilaku anak yang seolah-olah menyimpang ini dengan cemas. Mereka menganggap anak mereka mengidap pengyimpangan perilaku. Bayangan tingkah tokoh Rohaye yang menggundul kepalanya ala Ronaldo dan si Ongky yang kemayu berkelebat di benak banyak orang tua. Mereka khawatir anaknya kelak tertukar identitas gendernya. Apalgi jika perilaku anak jadi berlarut-larut hingga menjelang usia baligh.
Namun anak yang bereksplorasi menajdi lawan jenis sebenarnya hanya bersifat sementara dan terjadi pada kedua jenis kelamin. Hal ini biasanya menunjukkan pengalaman belajar sebagai proses menuju sosialisasi peran seksual yang sebenarnya. (Maccoby & Jacklin, 1974, Mischel, 1970; Serbin, 1980).
Karena yang merupakan ketidakwajaran adalah hipermaskulinitas hiperfeminitas. Seseorang yang kelewat maskulin akan menunjukkan sifat suka mencari gara-gara untuk berkelahi, perusak, kasar dank eras terhadap orang lain. Ia terus menerus tidak dapat mengendalikan perilaku kasar dan tidak sensitif. (Harrington,1970). Sayangnya penelitian mengenai anak perempuan yang hipermaskulin atau hiperfeminin, sangat jarang.
Adanya pengaruh lingkungan memang membuat anak-anak sekarang tidak seperti dahulu lagi. Zaman sekarang pengaruh kerasnya persaingan dan kompetisi sangat kuat. Perempuan dituntut berkompetisi dengan laki-laki. Bahkan sejak usia yang masih sangat muda. Sehingga anak perempuan meniru perilaku lawan jenisnya untuk bersaing.
Perbedaan antar jenis kelamin juga semakin menipis. Demikian juga perlakuan orang yang menyamaratakan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya saja semakin banyak orangtua yang membiarkan anak laki-laki dan perempuannya bermain dengan permainan yang sama. Mereka sama-sama bermain masak-masakan atau pasar-pasaran, juga bermain tembakan-tembakan dan mobil-mobilan.
Memperkenalkan anak dengan permainan dan kegiatan yang dianggap sebagai aktifitas lawan jenisnya boleh-boleh saja. Pembagian bahwa anak laki-laki hanya boleh main mobil-mobilan dan tembak-tembakan dan anak perempuan hanya boleh main masak-masakan dan boneka saja sebenarnya sangat tidak sesuai dengan kenyataan. Anak perempuan boleh-boleh saja menyetir mobil dan memanjat-manjat. Ia tidak hanya harus punya keterampilan dapur dan rumah tangga. Sebaliknya, anak laki-laki pun harus tahu urusan masak-memasak dan mengurus anak. Yang tidak boleh bertukar adalah hal-hal yang bersifat kodrati dan kewajiban. Anak laki-laki tidak boleh berperan sebagai anak perempuan. Contohnya bermain sebagai ibu yang pura-pura hamil dan menyusui. Begitu juga sebaliknya anak perempuan jangan sampai menjiplak habis gaya dan tingkah anak laki-laki. Misalnya, maaf buang air kecil sambil berdiri dan lain-lain.
Jadi kita tidak perlu merasa terlalu resah kepada anak perempuan kita yang tomboi. Selama anak tetap menunjukkan ciri-ciri feminin, tetap menyadari dan mengakuri dirinya sebagai anak perempuan. Jika gaya maskulin anak hanya sekedar pengaruh lingkungan, masih ada waktu untuk mengubahnya. Tentunya harus dilakukan sebelum anak akil baligh.
Beberapa tips yang boleh dicoba untuk anak-anak perempuan yang tomboi:
1. Sebagai orang tua kita harus melakukan instropeksi diri. Apakah perilaku tomboi anak disebabkan oleh perlakuan kita? Misalnya karena berharap memiliki anak laki-laki. Atau perilaku itu didorong oleh sikap orang tua yang menganggap lucu jika anak laki-laki bertingkah dan berpakaian perempuan atau sebaliknya anak perempuan berpakaian dan bertingkah sebagai laki-laki jika demikian, cobalah mengubah perlakukan kita
2. Jangan mencela atau mengkritik, anak akan terluka harga dirinya. Jika ini terjadi anak akan menjauhi kita dan menolak semua usaha pendekatan.
3. Berikan pendidikan seksual sesuai dengan usianya. Misalnya dengan menjelaskan perbedaan anatara fisik, biologis dan fungsi antara laki-laki dan anak perempuan. Jelaskan secara ilmiah dan serius dengan bahasa sederhana. Islam juga memberikan pedoman yang jelas masalah pendidikan seksual pada anak sejak usia anak-anak. Misalnya dengan memisahkan tempat tidur. Memberi batasan interaksi antara anak laki-laki dan perempuan, adab berpakaian dan lain-lain.
4. Memuji anak jika ia mau berdandan sesuai jenis kelaminnya. Contoh, "Subhanallah anak ibu ternyata sangat cantik kalau memakai baju muslimah".
5. Namun jika anak sudah mulai mau memakai rok, jangan terburu-buru menyingkirkan 'seragam' lamanya. Biarkan masa peralihan berjalan sedikit demi sedikit. Jika anak menolak gaun, jangan dipaksakan. Beri setelan celana panjang pentalon dan kaus lengan panjang atau lengan 3/4 yang kasual tapi manis.
6. Usahakan anak bergaul dengan anak perempuan lebih banyak dan lebih sering.
7. Berikan contoh. Agar anak mengikuti ibu. Misalnya berkunjung ke rumah teman ibu. Berkunjung dalam rangka silaturahim akan melatih anak untuk bersikap sopan, halus dan manis. 8. Beri pengertian kepada anak, bahwa anak laki-laki bukanlah mahluk super. Ajarkan bahwa anak perempuan juga sama istimewanya dengan anak laki-laki. Keduanya memiliki kelebihan dan kelemahan yang saling melengkapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar