Secara umum, banyak dikalangan kita yang hidup dengan prinsip “terserah apa yang terjadi besok”. Prinsip ini hanya cocok untuk orang yang merintis usaha atau yang sifatnya temporary semata. Apakah mendidik anak itu sifatnya temporary? Jelas tidak. Makanya, perlu kematangan perencanaan dan pengendalian. Karena, sekali lagi, ini berhubungan dengan masa depan mental anak-anak kita.
Contoh ringan, konsep mendidik a la balita yang semestinya digunakan di Playgroup atau TK juga digunakan pada anak-anak usia SD hingga SMP. Akibatnya, menempatkan anak yang sudah SMP seperti anak SD, juga seperti anak-anak TK atau Playgroup. Padahal perubahan status mental anak ini sesungguhnya sangat luar biasa. Kekeliruan positioning semacam ini akan menyebabkan implikasi psikologis berbahaya bagi anak.
Berawal Dari Mulut
Suatu ketika ada seorang guru SD bernama A yang konsultasi dengan saya. Dia bercerita tentang seorang siswanya bernama B yang selama ini sangat disayangi seperti anaknya. Mesti bongsor (bentuk fisik lebih besar, beda dari teman seumurnya), A juga tetap memberikan perlakuan seperti anak-anak TK, misalnya sering memegang pundaknya.
Suatu ketika, B melihat A akrab dengan siswa yang bernama C. Tiba-tiba, B bertanya secara pribadi “Pak, wajarkah kalau ada siswa yang menyemburui gurunya?”. “Lho, yang gak wajar seharusnya gurunya” jawab A.
Kesalahan A adalah karena dia tidak tahu kalau sesungguhnya B sudah menarche dan memposisikan dirinya sebagai seorang gadis yang berhadapan dengan lelaki yang disukainya, walaupun gurunya sendiri.
Mari kita hubungkan kembali dengan teori ini. Bicara merupakan cerminan sikap spontan dari sikap hidup yang diyakini. Ada ungkapan-ungkapan yang kelihatannya sepele, tapi sesungguhnya serius. Misal ungkapan kaum muda-mudi yang berbunyi “Muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga”. Meskipun sekedar guyon, ungkapan itu bisa jadi sebagai sikap hidupnya.
Karenanya orangtua harus belerja sama untuk mengembangkan strategi mendidik kepada anak-anak, agar bisa mengantarkan mereka dengan lebih baik. Perlu juga orangtua membanjiri anak-anaknya dengan cita-cita, ungkapan, slogan yang lebih positif dan membangun citra dirinya. Supaya hidupnya penuh karakter.
Jadi, jangan main-main dengan kata-kata, ungkapan atau sensasi-sensasi negatif didepan anak-anak Anda. Yang disayangkan, sudah menjadi momok mengerikan bagi sebagian kaum bapak untuk memperbincangkan masalah pendidikan anak. Kaum bapak lebih banyak berapologikan kesibukan mencari uang untuk memberi makan. Al-hasil, tidak banyak pula kaum Ibu yang stress membangun anak yang belum tentu mudah diatur.
Anderson Consulting Worldwide, lembaga psikologi terbesar di Amerika, dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa konflik rumah tangga lebih disebabkan terjadi karena ketidaksinkronan orangtua dalam konsep mendidik anak.
Berhasil Sebagai Orangtua
Dua hal penting yang menyebabkan kegagalan dalam mendidik anak adalah berasal dari intern orangtua itu sendiri. Pertama, para orangtua merasa menjadi orangtua karena mereka “terlanjur” menikah dan punya anak. Karena sudah punya anak, mereka “pasrah” bertindak sebagai orangtua. Jadi profesi orangtua dijalaninya dengan asas ke-“iya deh”-an dan keterpaksaan (under preassure).
Dengan kata lain, dia adalah orang yang lebih tua dari anaknya. Bahkan, zaman sekarang sudah bukan hal aneh menjadi orangtua sebelum menikah.
Banyak orang menjadi orangtua bukan karena sebuah pilihan, tapi keadaan yang harus dijalani. Sama dengan seseorang yang tak pernah memiliki rencana untuk besok, ketika besok sudah tiba, dia tak tahu harus menjalani apa dihari itu. Jadi, orangtua yang tidak merencanakan diri sebagai orangtua akan mendidik anak tanpa rencana, artinya mendidik dengan metode semau gue.
Yang kedua, orangtua yang berpendidikan tinggi itu sering memiliki potensi kegagalan lebih tinggi dalam mendidik anaknya. Apa sebabnya? Karena dia sendiri malu menjadi orangtua. “Waduh, saya rugi sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya cuma di rumah saja”. Biasanya kalimat semacam ini diungkapkan oleh sang Ibu. Jadi, dengan dia tinggal dirumah dan menghadapi anak dianggap pekerjaan biasa atau sepele.
Atau bahkan dianggapnya pekerjaan mendidik anak itu tidak berarti sama sekali, sehingga selagi anaknya kecil diserahkan kepada baby sitter, setelah beranjak dewasa mereka diberikan kebebasan karena kesibukan orangtuanya.
Penghuni pusat rehabilitasi narkoba atau penyakit sosial di beberapa kota besar bukan berasal dari keluarga miskin. Sebagian besar anak para pejabat, keluarga kaya, terdidik yang bergelar pendidikan tinggi, tapi seribu sayang, kualitas anaknya setingkat TK. Sebagian dari mereka karena tidak mampu memanaje waktu dengan baik untuk mengawasi anaknya.
Beda lagi dengan ibu-ibu “kampung” yang merasa dunianya memang harus dirumah, mereka kebanyakan mengandalkan nalurinya untuk mendidik anak. Bahkan mereka bisa jadi mati-matian memperjuangkan anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga bisa hidup lebih layak dari orangtuanya. Lihat saja, bukankah lebih banyak orang besar yang terlahir dari keluarga desa dan bermodalkan biasa saja?
Jadi, keberhasilan menjadi orangtua dipicu karena faktor rencana dan naluri. Dalam konteks normatif, rencana dapat dibahasakan dengan niat, dan naluri dibahasakan dengan keikhlasan. Meniatkan diri untuk mendidik anak karena ibadah akan membuahkan keikhlasan ketika menghadapinya. Keduanya akan muncul sinergi, secara bersamaan.
Dalam kasus ini, memang ada pengecualian. Orangtua yang berpendidikan tinggi bisa saja sukses dalam mendidik anak jika dengan benar menempatkan skala prioritas perihal pendidikan anak. Yang tidak banyak kita tahu, seperti yang telah saya sampaikan diatas, bahwa letak harmonisasi sebuah rumah tangga terletak pada kesuksesan pendidikan anak (utamanya moral) bukan aspek ekonomi, apalagi modernisasi.
Sekolah Untuk Calon Orangtua
Ikatan emosi (bounding) antara orangtua-anak sangat berpengaruh nyata terhadap karakter anak, terutama Ibu. Hal tersebut dibahas dalam beberapa buku parenting yang ditunjang dengan rangkaian fakta bahwa kekuatan rohani (Spiritual Quotient) justru berkait erat terhadap kepekaan kita kepada situasi emosi anak.
DR. Deborah Tannen dalam The Highly Sensitve Person and Love mengungkapkan, perbedaan sebesar apapun antar suami-istri tak pernah menjadi masalah, asal mereka memiliki ikatan tingkat spiritual yang sama. Karena itu, penting bagi kita, para orangtua, ditraining semacam school of parenting (sekolah keorangtuaan)
Katakan saja semacam pendidikan dan pelatihan (diklat), minimal seminar, dalam rangka menyiapkan diri menjadi orangtua dan cara mendidik anak. Kalau di Malaysia atau Singapura, lembaga-lembaga konsultasi mengadakan “Kursus Kawin”. Seperti yang konon dilakukan Siti Nurhalizah, diva Malaysia. Disana orang boleh saja nikah dalam usia muda setelah mengantongi sertifikat Kursus Kawin. Akhirnya, kita harus meyakini bahwa memang orang-orang besar hanya lahir dari orangtua yang memiliki semangat dan gagasan besar, bukan semata-mata karena pendidikan tinggi tapi berkarakter rendahan. Karena dimasa mendatang negara kita akan banyak membutuhkan anak-anak survive dalam kebenaran yang berjargonkan “sukses dunia, bahagia akhirat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar