Senin, Agustus 01, 2005

Waktu Bisa Mengubah Segalanya, Shin #5

“Oh.. aye kirain orang betawi juga, jadi aye tanyain pake bahasa padang, he .. he..”. ujar uni Ade sekarang dengan asal logat betawi, lalu ngeloyor kembali ke ruang makan, meninggalkan Shin, bu Nur, dan etek Mia, adik ibu Indra, yang masih melongo. Apa hubungannya betawi sama padang? Emang kalau betawi bisa ngerti bahasa Padang?. Asal deh..!.

“Bu, boleh saya bertanya?”.Tanya Shin.
“Ya…?”
“Kok Indra mau nikah secepat ini? Umurnya kan masih dua puluh dua.. then..”
“Then, how about his career?”. Sambung bu Nur, membaca pikiran Shin. Shin mengangguk.
“Kenapa Shin? Khawatir kalo kamu nikah sekarang, khawatir akan menghambat karirmu? Masih terlalu muda?”
Lagi - lagi Shin mengangguk.
“Shin, nggak ada istilah terlalu muda ataupun terlambat untuk memulai sesuatu yang baik. Kalau seseorang memang udah mampu untuk nikah, maka alangkah mulianya kalau ia menggenapkan diennya, yaitu dengan menikah.. yah, emang sih gajinya Indra nggak begitu tinggi, tapi Insya Allah.. untuk rizki itu urusan Allah dan Allah telah mengatur dengan seadil – adilnya untuk hamba-hamba-Nya.. yang penting usaha.. dimana ada usaha, disitu pasti ada jalan.”

Dien? Insya Allah? Apalagi itu? Allah, siapa? Kata- kata yang keluar dari mulut ibu Indra berterbangan di kepala Shin.

Tapi, hal itu hanya berlangsung beberapa detik, karena Indra muncul dan bergabung untuk makan malam. Sejenak hal itu terlupakan.

Seusai makan malam itu, Shin tak begitu banyak bertanya kepada Indra. Karena kata – kata yang tadi diucapkan oleh ibu Indra kembali melayang – layang di kepalanya. Ia kembali memikirkan kata – kata yang diucapkan bu Nur tadi, tentang pernikahan, Pencipta, termasuk tentang kain lebar yang menutupi rambut ibu separuh baya yang belum sempat ditanyakannya itu. Serentak kebencian semerbak di hati Shin. Bukan, bukan ibu Indra yang dibencinya, tapi kain lebar yang menutupi rambut wanita itu, Jilbab!. Ada kebencian yang begitu mendalam tiba – tiba hadir di hati Shin. Shin benci melihat jilbab itu!. Gara – gara kain itulah hatinya terluka, Shin benci, benci sekali!. Semuanya seakan berebut tempat di kepala Shin.

“Shin…” suara Indra mengagetkan Shin.
“Genki?” tanya Indra dengan bingung melihat Shin yang masih diam. Shin tersentak, “Eh, genki”.
“Kalau kamu punya masalah, kamu bisa cerita ke aku atau mama, jangan kebiasaan dipendam. Tell me about your problem.” Ujar Indra, menepuk pundak Shin.
“Shimpai shinai-de, I m fine. Aku mau istirahat dulu ya, nemui. good night. Malam bu, nek, kakek, sister. ” ucap Shin pelan.

Shin meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Shin tahu, Indra pasti akan membantunya jika ada masalah, tapi masalahnya justru ia sendiri bingung bagaimana mengungkapkannya ke Indra. Begitu banyak kata – kata yang memenuhi otaknya, begitu banyak hal yang tak dimengertinya, begitu perih luka hatinya, begitu.. ah, semuanya begitu membingungkan, dan cepat berubah!

Sementara itu, dari ruang makan Indra memandangi punggung sahabatnya yang menghilang dari kejauhan itu. Indra tahu ada sesuatu yang disembunyikan Shin darinya. Tapi ia juga tak bisa memaksa Shin. Indra tahu pasti sifat tertutup sahabatnya itu. Tapi, terus terang hati Indra masih was-was. Apakah Shin sudah menyadari semua perubahan yang terjadi pada dirinya? Bagaimana cara memberitahukannya kepada Shin? Semua perubahan ini? Bagaimana jika Shin benar – benar akan meninggalkannya nanti? “Ya Allah, berikanlah kemudahan untuk dalam menjelaskan semua ini nanti, berikanlah petunjuk dan kefahaman, dan hidayah-Mu ya Allah kepada Shin, dan kelapangan dada dan kesabaran jika penjelasan hamba nanti berakibat buruk baginya dan tidak sesuai dengan apa yang hamba harapkan ya Allah..” doa Indra dalam hati.
bersambung

Tidak ada komentar: