“Kamu ini.. selalu saja, nggak pernah berubah, ga boleh liat yang cantik dikit aja. Ayo…!” Indra menyeret tas Shin yang ada di depannya. Shin mengikutinya.
“Ok, sekarang kita mau kemana dulu nih? Ke kafe tempat kita nongkrong dulu waktu SMA? Atau mau ke kafe milik teman papa? Papa give me the address, nggak jauh kok dari sini” tanya Shin.
Indra memandang Shin sesaat, lalu menggeleng. “Tidak, kita langsung pulang aja, ibu, niniek, datuak, udah nungguin kita di rumah.”
“Niniek? Datuak?”. Shin melongo.
“Grandfather and grandmother.”
“O…Ok deh kapten..!”
Shin mengikuti langkah Indra yang melangkah ke tempat parkir dengan tak banyak bicara. Tapi diam – diam Shin menyimpan pertanyaan atas perubahan dalam raut wajah sahabatnya ketika menjawab pertanyaannya yang kedua terakhir tadi. Ada yang berbeda yang terasa di hati Shin pada Indra. Tapi entah apa, Shin belum mampu menyelami arti perubahan itu.
Dalam perjalanan pulang, mata Shin lebih banyak mengamati perubahan kota yang sudah sudah lima tahun ditinggalkannya ini. Macet yang tak pernah habis- habisnya membuatnya puas memperhatikan setiap sudut jalan yang dilewatinya. Matanya terus memperhatikan anak – anak jalanan yang semakin ramai menghiasi ibukota Jakarta. Di kotanya, Osaka, di negeri sakura sana, ia tak pernah melihat pemandangan seperti ini.
Ada ibu – ibu yang berjejer dengan anak – anak balitanya. Di depan mereka terdapat tempat dari botol aqua gelas bekas yang berisi beberapa keping uang receh. Ada lagi, bapak – bapak dengan kaki yang cacat, Dua orang anak kecil yang dekil sedang memainkan alat yang terbuat dari botol yang diisi dengan pasir mendekati jendela tempat duduk Shin. Shin memperhatikan wajah anak itu lebih seksama. Ya ampun, umur anak - anak itu kira – kira masih lima atau enam tahunan!. Kasihan sekali, di negeri yang terkenal kaya dengan hasil alam ini, justru rakyatnya terlunta – lunta, pikir Shin iba. Kemana para orang tuanya? Kemana para dermawan negeri ini? Apa pemerintah negeri ini tak pernah tahu keadaan seperti ini? Atau memang tak mau tahu?. Indra memberikan selembar uang kepada Shin untuk diberikan kepada pengamen cilik yang ada tepat di samping jendela tempat Shin duduk. Shin-pun buru - buru ikut mengeluarkan selembar uang, lalu memberikan uangnya dan Indra kepada kedua pengamen cilik itu sebelum mobil bergerak meninggalkan kemacetan sudut ibu kota yang penuh derita itu. Hati Shin miris. Mendung mulai menyelimuti ibukota.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar