Selasa, September 30, 2008

Agar Kita Mulia?

Ramadhan bulan mulia, bulan pilihan. Kita semua tahu itu. Ramadhan bulan dibukakan selebar-lebarnya pintu surga, dan sebaliknya, ditutup serapat-rapatnya pintu neraka. Di bulan ini, kebaikan dilipatgandakan sepuluh hingga tujuh ratus kali. Allah juga menebarkan kesempatan bagi siapapun untuk meraih malam termulia, yang setara dengan ibadah selama 84 tahun, ialah Lailatul Qadr.

Sebegitu istimewanya Ramadhan, hingga di masjid perkotaan hingga pelosok menggelar aneka ragam acara. Tergiur dengan apa yang dikatakan Rasulullah SAW : “Siapa yang menyambut kedatangan bulan Ramadhan, diharamkannyalah ia disentuh api neraka”, menyebabkan banyak diantara kita terjebak dengan inti “penyambutan”.

Dengan berduyun-duyun, di akhir sya’ban, kita kebanyakan menyempatkan diri untuk meminta maaf dan memberikan maaf. Yang kita tahu, tujuan kita melakukan itu agar di saat Ramadhan datang, kita benar-benar terbebas dari kesalahan interpersonal atau dosa-dosa hablumminannaas. Dengan begitu, kita sudah dianggap bersih.

Dalam mitos jawa kuno, pula berbondong-bondong masyarakat melakukan padusan, mandi bersama untuk melebur dosa, katanya. Juga menyiapkan kue apem untuk dibagi-bagikan ketetangga dan sanak saudara, untuk kemuliaan dan keberkahan Ramadhan.

Setiap masjid ditata rapi. Bahkan masjid yang berukuran agak kecil memasang tenda, khusus bulan Ramadhan. Rapat-rapat pengurus masjid hingga remaja masjid silih berganti, untuk mensukseskan acara Ramadhan. Lemari masjid yang berisi al-Qur’an dibersihkan dari debu-debu yang menempel di cover Qur’an. Dan dipampanglah spanduk “Isilah siang dan malam Ramadhan kita dengan ibadah, siapa tahu Ramadhan ini kesempatan terakhir bagi kita”.

Spanduk itu cukup menohok kita. Dan tidak ada argument untuk melawan isi spanduk, karena kita memang benar-benar tak pernah tahu kapan mangkat dari dunia menuju alam kubur. Tapi spanduk tetaplah spanduk. Si pembuat spanduk pun belum tentu tersinggung dengan isinya.

Malam pertama Ramadhan, sesak. Suara “aammiin” dari jama’ah menggema. Yang tidak pernah kita lihat aktif ke masjid selama ini, di malam itu ada. Dan ternyata beliau tetangga kita juga. Pulang tarawih banyak yang bingung mencari sandalnya sendiri. Ada yang tertukar, pindah tempat, bahkan hilang, karena halaman masjid tak mampu memuat sandal jama’ah yang sebegitu banyak. Kotak infaq terisi tak biasanya. Pengurus masjid setelah itu berharap “kalau begini terus, masjid kita bisa beli karpet bagus sekaligus AC”.

Suara tadarus al-Qur’an dari corong pengeras suara yang terpasang di menara masjid mengisi indra dengar kita sepanjang malam Ramadhan. Dan stasiun TV-pun berlomba-lomba menarik mata warga dengan mata acara religius.

Dipelbagai tempat dan paguyuban, social, politik, ataukah organisasi dadakan, digelar acara buka bersama. Bagi yang punya tokoh tertentu, disertai santunan amplop beserta isinya. Tak tanggung-tanggung seorang pengusaha-pun mengundang ribuan orang untuk menerima jatah Rp. 30.000 dan bingkisan lebaran.

Hari kian berganti. Malam Ramadhan kian kemari kian sepi. Ditempat wudhu jarang terlihat antri. Tarawih tak sepenuh kemarin, makin ada kemajuan shaf. Tercetuslah apologi seragam “Tarawih kan sunnah, nanti juga bisa dirumah, sekalian menunggu waktu sahur. Lagian kan lebih khusyu’ kalau sendiri”. Dan celakanya, si pembuat pernyataan selalu kesiangan.

Disepuluh malam terakhir. Di mall dan pasar-lah motor kita parkir. Kita pilah baju untuk shalat ‘id, baju taqwa yang paling ngetrend saat ini, yang banyak dipakai ustadz di TV, atau jilbab yang makin modis, yang agak lebar tapi tak ketinggalan jaman.

I’tikaf dimasjid hanya terjadi dimalam hari, itupun akhirnya bincang-bincang masalah pribadi sampai pagi. Meskipun kantor sudah libur saat itu, tetap saja siangnya pulang, karena selama di masjid tak tidur. Saat Ramadhan makin mendekati detik akhir, inbox HP kita dikirimi sms “Hidup itu cuma sbentar. Sbentar happy, sbentar sedih. Sbentar marah, sbentar ketawa. Sbentar berantem, sbentar damai. Oiya, sbentar lagi lebaran, siap-siap sambut hari kemenangan ya!”

Ah, kemenangan, jauh sekali rasanya kita meraih predikat itu saat Ramadhan usai. Tiap bulan mulia itu datang, target-target meleset. Target full tarawih berjama’ah. Target full qiyamullail sebelum sahur. Target khatam 10 hari sekali. Target hafal 5 ayat pilihan sehari. Target full I’tikaf. Dan target lain.

Ramadhan kita dari tahun ke tahun sama saja. Tarhib Ramadhan, Tarawih, buka bersama, tilawah, sadaqah, I’tikaf. Semua kita jalani dengan cita rasa yang sama seperti bulan lain, tidak ada sesuatu apapun yang membekas dari Ramadhan. (Seakan-akan) kita sudah menganggap Ramadhan itu satu bulan yang ada di satu tahun, yang didalamnya banyak kemuliaan. Dan kita terpaku dengan status mulia itu tanpa berfikir bagaimana cara agar mempertahankan kemuliaan setelah Ramadhan berpulang.

Selamat jalan Ramadhan, maafkan aku tak menjamu dengan baik pada tahun ini. Aku selalu harap, tahun depan kita bertemu lagi.

Tidak ada komentar: