Tiap pagi, pekerjaan rutin saya adalah mengantar keponakan saya dan enam anak lainnya ke sekolah. Mereka adalah anak kelas 1 hingga 3 SD. Saya sekaligus merangkap menjadi sopir. Tiap pagi pula, saya menyetelkan lagu anak-anak untuk mereka. Pilihan saya tentulah Tasya, Sherina, Kenny tau si Kembar Ita dan Tara. Kenapa mereka? Menurut penilaian saya, mereka menyanyikan lagu anak yang relatif sehat.
Suatu hari, seorang dari anak-anak itu berkata, "Abang (mereka semua memanggil saya Abang, meniru keponakan saya), sekali-kali nyetel Westlife dong..." Waduh! Saya terkejut mendengar permintaan itu. Saya katakan, saya tidak punya kaset Westlife. Tetapi ternyata, beberapa hari sesudahnya, toh Westlife terdengar juga dari radiotape mobil kami. Seorang anak membawa kaset Westlife dari rumahnya. Oke-lah, saya pikir, sesekali boleh juga mengalah. Dan saat lagu Westlife mengalun, hampir semua anak ikut bernyanyi. Tentu saja dengan lirik berbahasa Inggris yang amburadul.
Pada kesempatan lain, saya tak sengaja menyetel kaset berlabel "Swara Perempuan". Ini adalah kaset kumpulan lagu para penyanyi perempuan Indonesia yang konon "bersuara empuk". Ketika saya ingin mengganti kaset itu dengan kaset lagu anak-anak, para penumpang cilik itu protes. "Yang tadi aja Bang! Yang tadi aja!" Akhirnya, dengan sekali lagi berkomentar "waduh!", saya kembali menyetel kaset itu dengan berkata, "Sekali ini saja ya... soalnya ini bukan kaset untuk anak-anak. Ini kaset lagu orang besar." Seorang anak menyahut, "Ah... aku biasa kok mendengarnya!"
Saya terkejut karena dua di antara anak-anak itu amatlah fasih ikut menyanyikan lagu-lagu yang diputar. Padahal, dari lagu-lagu tadi, hanya ada satu yang dinyanyikan oleh anak-anak, yakni Sherina. Selebihnya adalah penyanyi perempuan dewasa antara lain: Reza, Kris Dayanti, Rossa, Melly Goeslaw, Shelomita, dan Shanti. Dan lagu-lagu yang dinyanyikan sungguh bersyair dewasa.
Ampun, pikir saya, dua anak ini benar-benar anak TV! Lagu-lagu yang diputar itu adalah lagu yang biasa mereka dengar dan lihat videoclipnya di televisi. Mereka pasti sering menontonnya hingga hapal syair-syairnya. Padahal, saya ingat, sejumlah videoklip itu menyajikan adegan sensual di dalamnya. Videoklip Reza atau Shanti misalnya.
Anak-anak ini pada kesempatan lain mengobrol tentang hantu. Ternyata, obrolan itu datang karena mereka menonton serial Ghost Stories yang ditayangkan Metro TV. Saya menghela nafas. Itu acara TV yang terlarang di rumah saya. Saya segera teringat dengan buku-buku teks ilmu komunikasi yang saya pelajari. Di dalam buku-buku itu dituliskan berapa makin lama anak-anak kita makin terbiasa dengan media sejak usia dini. Anak-anak kita besar dengan media. Media laksana babysitter bagi mereka. Sayangnya, kualitas babysitter ini kebanyakan buruk.
Saya juga teringat dengan buku After the Death of Childhood. Sesuai dengan judulnya, buku bagus ini bercerita tentang matinya masa kanak-kanak, antara lain akibat kehadiran media. Mengapa demikian? Media massa mengenalkan anak-anak pada kehidupan dewasa. Itulah yang membuat anak-anak tercerabut dari masa kanak-kanak yang seharusnya.
Sejak kecil anak-anak sejak kecil sudah mengenal banyak hal dari aspek kehidupan orang dewasa, sehingga ia terperangkap dalam kedewasaan baik secara fisik, psikologis, ataupun sosial. Anak-anak tahu hubungan laki-perempuan, seks, kekerasan, dan perilaku-perilaku anti-sosial sejak mereka masih sangat kecil. Dari mana? Dari media tentu. Padahal, anak-anak belum siap untuk itu.
Lihatlah film kartun anak-anak. Isinya banyak yang terkait dengan hubungan laki-perempuan dan seks. Popeye, Crayon Sinchan, dan Sailor Moon adalah beberapa diantaranya. Kemudian, iklan TV. Mari lihat Irex, Promag, Rapet Wangi, atau pompa air Sumitsu, dan juga beberapa iklan yang di perankan oleh Inul. Semuanya menjual seks, padahal iklan-iklan itu bisa saja ditayangkan pada jam tayang keluarga, dan tentu saja anak-anak ikut menontonnya.
Atau, lihatlah tabloid-tabloid porno yang dijajakan di pinggir jalan. Anak-anak setiap saat dapat melihatnya. Mereka sejak kecil sudah melihat gambar perempuan dewasa nyaris telanjang, dan itu seks. Kemudian, ada pula sinetron, telenovela atau film yang menampilkan hubungan laki-perempuan atau seks secara eksplisit. Sekaligus, dari kisah-kisahnya anak-anak dapat menangkap cerita tentang penyelewengan, perceraian, dan krisis hubungan laki-perempuan lainnya.
Ada pula videoclip yang menjual seks. Ada perempuan-perempuan nyaris telanjang di danau yang menari dan bergoyang sensual. Belum lagi, syair yang dinyanyikan yang kadangkala mengandung muatan seks pula.
Kemudian, mereka juga belajar kekerasan dari media melalui film kartun, film dewasa, dan sinetron. Dari sini kadang-kadang anak belajar bahwa kekerasan adalah jalan keluar untuk menyelesaikan masalah.
Mereka juga mengenal horor sejak mereka sangat kecil. Kemungkinan karena dirumah para orang dewasa menonton acara TV Ghost Stories, Percaya tak Percaya atau serial yang menampilkan Mak lampir. Sekaligus, dengan menonton acara-acara yang demikian, anak-anak berkenalan dengan dunia klenik. Daftar ini akan bertambah panjang jika kita juga berbicara tentang profanity, kata-kata vulgar, kasar, dan tidak sopan yang sering jadi langgam bicara para tokoh yang tampil di sinetron atau film.
Bahkan, menyedihkan sekali, kalau toh anak-anak kita jejali dengan hanya materi TV berlabel "acara anak-anak", mereka juga tidak dapat terbebas dari virus yang buruk itu. Anak-anak yang tampil dalam acara anak-anak banyak yang telah teracuni, tampil bak orang dewasa. Mereka sungguh-sungguh miniatur orang dewasa. Gaya bicara dan penampilan anak-anak itu persis seperti orang dewasa, karena mereka meniru gaya orang dewasa. Contohnya adalah Joshua.
Jadi begitulah. Potret media kita memang mengkhawatirkan buat anak-anak kita. Karena itu, sedapat mungkin, jauhi anak kita dari media-media yang potensial membawanya ke arah pengenalan kehidupan orang dewasa. Kalau toh kita dengan selektif mengizinkan anak kita mengkonsumsi media, jangan biarkan dia mengkonsumsinya sendirian. Dampingi anak kita, ajak dia bicara jika ada muatan media yang kita rasakan "terlalu dewasa". Tentu saja anak perlu mengenal kehidupan orang dewasa, tapi itu nanti, pada saat yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar