“Ya Allah, tunjukilah aku dengan mensyukuri nikmatMu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang sholeh yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku (dengan memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepadaMu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”
(QS Al-Ahqaf (46):15)
(QS Al-Ahqaf (46):15)
Sejak mendengar tangis pertamanya, hampir 24 jam sehari saya bersama dia. Mengganti popok, menyusui, menidurkan, memandikan, menyuapi, menemani bermain hampir semua saya yang melakukan. Begitu banyak waktu tercurah untuknya seolah bau nafas dan tubuhnya tak pernah lepas dari hidung saya, bahkan suara detak jantungnya pun seakan selalu melekat di telinga saya. Pun tahap demi tahap perkembangannya tidak pernah luput dari penglihatan saya, ibunya.
Begitu pula sebaliknya, apapun yang saya lakukan hampir tidak pernah lepas dari pandangan mata jernihnya, kecuali ketika dia sedang berada dalam buaian alam mimpi. Tidak jarang tubuh mungilnya bertengger di punggung ini ketika saya sedang memasak atau mencuci piring. Sering pula dia menguntit dari belakang dengan merangkak ketika kaki ini melangkah ke sana kemari untuk membereskan rumah ataupun sekedar ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Juga ketika sedang memenuhi panggilan lima waktuNya, tak jarang dengan santainya dia menarik-narik sajadah atau mukena yang saya pakai atau bahkan memukul-mukul kepala saya ketika sedang bersujud. Tanpa sadar ternyata apa yang saya lakukan selama ini terekam baik di kepalanya.
Subhanallah, dia berwudhu! Itu yang pertama kali muncul di benak saya. Berbagai perasaan menyusup ke dalam rongga dada, antara percaya dan tidak, bahagia juga bangga dengan apa yang baru saja saya saksikan. Disaat sedang menanti langkah pertamanya, dia malah memperlihatkan sesuatu yang membuat saya tertegun. Dia mencoba melakukan tahapan-tahapan wudhu meskipun masih sangat jauh dari tata cara berwudhu yang benar. Padahal baru 13 bulan yang lalu dia mendengar adzan dan iqomat pertama yang dibisikkan suami saya di telinganya.
Suatu pagi, seperti biasa ketika memandikannya, air dari kran saya biarkan tetap mengalir kecil masuk ke ember mandinya karena dia suka sekali bermain air yang mengucur seperti itu. Ketika saya mau menyiramkan air di tubuhnya tiba-tiba dia melakukan sesuatu yang membuat saya diam terpaku. Pertama, dia berusaha menampung air di telapak tangannya yang mungil, namun tak ada sedikitpun air yang tertampung di sana, lalu mengusapkan ke mulut, seperti mau berkumur. Kemudian mengusap telinga, muka dan kepala secara bergantian setelah sebelumnya berusaha menampung kembali air di telapak tangannya. Terakhir dia membasuh kaki kanannya. Hal yang sama juga dilakukan ketika saya memandikan keesokan harinya.
Anak saya yang lucu yang tidak hanya mencoba berwudhu, dengan semangat empat limanya dia segera melakukan gerakan sujud ketika mendengar suara takbir, hingga tak jarang dahinya yang lebar terantuk keras ke lantai dan terdengar satu-satunya kata yang baru mampu diucapkannya.
Tentu saja dia belum mengerti apa itu wudlu dan sujud karena yang dilakukan hanyalah meniru sesuatu yang dilihat dan terekam dalam kepalanya. Ada banyak harap di dalam hati saya semoga wudlu dan sujud pertamanya itu menjadi pembuka jalan amal ibadahnya kelak ketika dia dewasa.
Anak adalah buah hati, karunia Illahi. Mereka bukan hanya penerus keturunan yang akan mengurus kita ketika jompo datang menghadang, tetapi seorang anak (yang sholeh/sholehah) merupakan tabungan utama bagi kita, orang tuanya. Merekalah yang akan memohonkan ampun atas dosa-dosa kita setelah dipanggil menghadapNya.
Rasulullah SAW bersabda, bila anak adam wafat maka amalnya terputus kecuali tiga hal yaitu: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakannya (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Tak bisa dipungkiri bahwa kita, para orang tua adalah guru pertama bagi si buah hati, yang mendidik dan mengajarkan berbagai hal kepada mereka, sebagai rasa tanggung jawab akan amanah Sang Pencipta. Selain itu, orang tua adalah kompas pertama yang membantu menentukan ke mana arah langkahnya. Pun ketika dewasa, jalan mana yang mereka tempuh tentunya tidak lepas dari peran kita sebagai pendidik dan penentu arah baginya.
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu bertauhid kepada Allah, orang tuanyalah yang akan menjadikan dia yahudi, nasrani atau majusi (HR Bukhari)
Mereka ibarat kaset kosong yang siap merekam apa saja yang dilihat dan didengarnya. Meniru dan meniru tanpa tahu mana yang pantas dan tidak pantas untuk ditiru. Tentulah tugas kita sebagai orang tua menjadi penyaring akan apa yang mungkin masuk ke dalam mata dan telinga mereka.
Anak-anak tidak hanya memerlukan nasehat yang kadang harus dirangkai menjadi cerita indah tetapi juga contoh nyata yang bisa dilihat dari orang-orang terdekatnya, karena anak-anak mempunyai kecenderungan meniru perilaku orang-orang di sekitarnya terutama orang tuanya. Keteladanan (uswah hasanah) dalam mendidik anak merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah proses panjang untuk mengarahkan buah hati ke jalan yang diridhaiNya. Lalu, akankah kita memberi contoh yang tidak pantas ditiru oleh perekam-perekam jitu kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar