Kapal Labobar telah berlayar lebih dari 20 jam lalu dari Makassar. Kurang lebih 4 jam mendatang akan berlabuh di Tanjung Karang, Surabaya. Itulah sebabnya penumpang lebih suka berdiri di luar.
Seraya berkelakar, ngobrol sekedar, pandangan ditebar kepulau sekitar yang mulai tampak, atau memandang buih lautan. Sekerumunan anak seumuran asyik memburu sampah plastik untuk kemudian dilemparkan begitu saja kelaut lepas. Mereka seperti merasakan bebasnya plastik itu melayang keudara terbawa angin
Disudut belakang, Mushalla-pun begitu. Waktu shalat zhuhur telah lewat sejam lalu, tapi ada saja penghuninya. Meski jumlahnya tak lebih dari yang diluar sana. Dari diskusi ke-islaman, pijat-pijatan sampai sekedar nge-charge HP. Suara riuh sesekali terdengar. Menyusul kalimat tasbih dari rombongan khuruj Jama’ah Tabligh yang mendiskusikan Fadhilah Amal.
Saya masih tertarik untuk istirahat. Bukan menutup diri, tapi demi energi perjalanan berikut yang masih jauh. Sambil terjaga, agar barang bawaan tak pindah tangan.
Suatu detik, semua mata tertuju ke arah seorang bocah lelaki yang berlarian. Ia hanya memakai kaos supermen (beserta sayapnya) dan bercelana pendek. Awalnya semua cuek. Biasa saja, mungkin ia sedang main petak-umpet dengan temannya. Untungnya jama’ah khuruj telah selesai diskusi kitab.
Diputaran lari kesekian, saya berinisiatif menghampirinya. “Mau kemana dek?”
“Mau sholat om”
“Kok lari-larian, cari ayah atau ibunya?”
“Cari tempat wudhu om”
“Disana kan nada tempat wudhu” jari saya menuntun pandangannya.
“Ga ada om”
“Ya udah, om anter deh”
Sampailah kami ditempat wudhu. Tapi saya dicemberutinya. Mulut comelnya mengeluarkan kritik keras.
“Om ini gimana sih, kalo tempat wudhu ini mah aku udah tau…”
“Lha iya, ini tempat wudhu-nya”
“Aku kan cari tempat wudhu lelaki. Ini kan tempat wudhu wanita..”
“Ya nggak pa-pa lha dek, kan sekarang nggak ada orang perempuan, jadi nggak pa-pa”
Tempat wudhu itu memang tempat wudhu wanita, yang juga biasa saya pakai. Tapi sang bocah tetap bersikeras mencari tempat bertuliskan TEMPAT WUDHU PRIA. Meski masih sangat polos, terlihat keteguhan luar biasa darinya. Saya rayu dengan berbagai cara, tetap tak bisa. Saya menyerah.
Dengan mengitari dek belakang, saya mendapati TEMPAT WUDHU PRIA. Dan itupula pertama kalinya saya injakkan kaki di tempat yang seharusnya saya injak sebelum tiap kali shalat. Bocah lelaki itu tampak puas, bisa wudhu di tempat wudhu pria. Hal yang mungkin dimiliki orang terbatas. Saya ikut lega. Selesai wudhu, sang bocah berpesan : “Om, kalau mau ibadah kan gak boleh dicampur antara yang baik dan yang buruk? Ya kan?”. Aku mengangguk kecil, setuju. “Jadi, kalau mau sholat, ya harus wudhu ditempat wudhu pria. Tempat wudhu wanita kan haknya perempuan. Jadi, kalau kita wudhu di tempat wudhu wanita, artinya mengambil hak wanita. Betul nggak om?”. Saya diam. Benar juga ‘analisa’ bocah lelaki ini. Dan saya pun tersudut, karena mengelakkan satu hal sepele yang sebenarnya berarti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar