Mbah Tardi adalah seorang kakek berusia 65 tahun yang tinggal dekat dengan rumahku. Namun, banyak orang yang mengira, apalagi bagi yang baru melihatnya- kalau usia beliau belum setua itu. Tubuhnya masih kelihatan gagah, jalannya pun masih lincah, beda dengan kawan sepermainannya yang kini sakit-sakitan.
Sebagai seorang Mbah, beliau tentu punya banyak cucu. Karena putra-putri mbah Tardi tersebar di kota Jakarta dan Bandung, maka tak elak lagi ketika kangen dengan cucu-cucunya harus bertandang kesana atau menunggu masa liburan datang agar si mbah dikunjungi. Mbah Tardi itu sosok mbah Kakung (kakek) yang paling disenangi anak-anak kecil dikampung kami. Sejak istrinya, mbah Putri (nenek) meninggal, beliau lebih suka bermain dengan anak-anak kecil yang sudah beliau anggap sebagai cucu sendiri.
Mbah Tardi juga perokok. karena berjiwa muda, rokoknya pun tak mau kalah dengan rokok anak muda. Biasanya si Mbah-mbah di desa kami -dan dimanapun- lebih suka rokok lintingan (rokok kaum, tembakau dan pembungkus dipisah), tapi tidak dengan Mbah Tardi. Beliau suka rokok Dj.... (dilarang iklan!). Bukan main cool-nya nih mbah.
Liburan semester kemarin, si Mbah menanti-nanti kedatangan cucu-cucu tercinta. Namun, penantiannya pupus ketika hari libur sudah habis masanya. Mbah kemudian berniat ke Bandung dan Jakarta. Dia bicara kepada adiknya, Mbah Kono, kalau dia punya firasat tak mengenakkan karena cucunya tak datang.
Diberilah Mbah sangu (ongkos) Rp. 500.000,00 untuk perjalanan ke kota Bandung dan Jakarta. Tiba saat kepergiannya, keluarga Mbah Kono ikut mengantar sampai terminal Giwangan, Jogjakarta. "Mbah, niki tiketipun, mangke kula antar dugi bisipun. Lenggah rumiyin mbah (mbah, ini tiketnya, nanti saya antar sampe bis. Duduk aja dulu).." pesan calo yang beruntung mendapat korban mbah.
Calo tiket bus di Jogjakarta memang masih termasuk calo yang baik, karena tidak mengambil untung berlebih. Rata-rata mereka cuma menambahkan Rp. 10.000 - 20.000. Tukang panggul barang di sini juga masih termasuk sopan, karena tidak menarik barang kecuali jika sudah mendapat izin dari pemiliknya. Kembali ke kisah si Mbah yuk...
Lima menit menjelang keberangkatan, Mbah Kono menitip pesan terakhir (bukan surat wasiat) berupa nomer telpon anak-anaknya yang ada di Bandung dan Jakarta "Mas, niki nomer telpon putro njenengan, mangke dugi mriko langsung nyuwun tulung dipun telponaken nomer niki, ben di pethuk (mas, ini nomer telepon anakmu, nanti pas sampe sana langsung minta tolong orang untuk menelponkan nomer ini, biar dijemput).."pesannya cemas. "Ah, kowe iki koyo ra tau ngerti nek aku lungo adoh wae. Aku wis ngerti coro-corone (Ah, kamu ini kayak ga pernah tau kalo aku pergi jauh aja. Aku dah tau cara-caranya..)" potong Mbah Tardi.
Berjam-jam perjalanan, selama di bis Mbah Tardi tak pernah lelah memandang suasana jalan dari kaca jendela bus. Waktu-demi waktu berlalu, malam pun datang mengusir sang mentari. Seluruh penumpang bus Setya Mulya sudah nampak menikmati perjalanan (baca : tidur lelap). Si Mbah masih tetap pada posisinya, tapi kali ini kakinya diangkat, sehingga duduk bersila diatas jok sambil menghisap beberapa batang rokok Dj.... yang telah disiapkan.Akhirnya mbah lelah juga. Tidurlah beliau.
"Persiapan... kita akan berhenti sebentar untuk istirahat makan." seru Kondektur bis diulang-ulang. Mbah ikut terbangun. Kebetulan juga laper, tapi ada yang lebih penting dari laper, yaitu buang hajat. Mbah berfikir untuk yang mana yang dilakukan terlebih dahulu, makan atau ke WC. Mbah turun, memilih makanan, menikmatinya sambil menebarkan pandangan ke seisi warung besar itu. Setelah kenyang dan membayar, mbah langsung menjalankan misi ke-2, masuk WC.
15 Menit kemudian Mbah keluar sambil menata diri agar terlihat rapi. Setelah itu beliau langsung menaiki bus. Si Mbah sempat heran, karena bus yang ditumpanginya kini lebih adem, bangkunya juga lebih empuk, bangkunya juga 2-2. Tapi emang dasar si Mbah, beliau nikmatin aja dengan gayanya. "Mungkin bangkunya bisa dicopot di rumah makan tadi..." pikirnya ringan.
Selama perjalanan, si Mbah sempat kaget, karena kini didepannya ada TV yang memutar film india. "wah... enek TV-ne to saiki?.. (wah, ada tv-nya ya sekarang?).." bisiknya lirih. Kebetulan film india adalah salah satu acara tv favorit selain infotainment. Aneh kan si Mbah yang satu ini?
45 Menit sudah film ditayangkan. Selesai. TV mati kembali. Suasana hening kembali, penumpang kembali tamasya ke alam mimpi. Merasakan kesepian yang begitu mendalam dan untuk mengusir rasa kantuk, akhirnya Mbah kembali merogoh sakunya. Beliau merokok. Pluss... pluss... pluss... Beberapa penumpang sekitarnya batuk kecil dan menutup hidung.
Sesosok tubuh kutilang (kurus tinggi langsing) tampak menuju ke arahnya. Dia kondektur. "Mbah, maaf ya, ini bis AC, gak boleh merokok.." pesannya. "Pripun mas..? (Gimana mas?)" tanya balik si Mbah. Kondektur mengerti kalau Mbah tidak mengerti bahasa Indonesia, ia pun kembali kedepan, memanggil seorang kondektur lagi yang bisa bahasa Jawa. "Mbah, nyuwun panga punten, niki bus AC, mbotten angsal ngerokok.. (Mbah, maaf, ini bis AC, gak boleh merokok)" ajak kondektur 2. "Lah, kolowawu kulo ngerokok terus koq boten dipun larang (lah, tadi saya merokok terus ko ga ada yang larang).." jawab Mbah. "Cobi nyuwun tiketipun Mbah.. (Coba minta tiketnya mbah)"
"Wah... mbah salah numpak bus, niki bus eksekutif, kolowawu mbah numpak bus ekonomi..(Wah, mbah salah naik bis, ini bis eksekutif, tadi mbah naik bis ekonomi).." kejut kondektur jadi pusat perhatian penumpang lain. "Lah, pripun niki mas... warnane podo je.. (Lah, gimana ini mas, warnanya sama sih!!)" si Mbah makin heran.
Akhirnya supir bus eksekutif tersebut berinisiatif untuk mengejar Setya Mulia Ekonomi. Ketemu. Kedua bis berhenti karena saling memberi kode lampu. Tanya-tanya beberapa detik. Kemudian si Mbah diajak keluar beserta tas ranselnya. "Niki loh mbah bus njenengan.." kata kondektur 2. mau tak mau si Mbah harus ikhlas dipindahkan. Begitu legowonya si Mbah.
Kembali mbah duduk di bangku yang panas, asap rokok yang mengepul sana-sini, dan tanpa TV. Yah... udah enak naik bis yang tadi malah balik lagi. Kasian deh Mbah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar