Minggu, Mei 01, 2005

Revisi Goal-Setting Pendidikan Nasional

Goal setting adalah penetapan apa yang hendak dicapai seseorang (Locke & Latham, dalam Woolfolk, 1998). Ketika seorang pelajar berusaha belajar keras untuk memperoleh nilai 5 dalam UN tahun ini, maka usaha yang dilakukannya tersebut (belajar keras) adalah goal-directed behaviour.
Woolfolk selanjutnya menyebutkan bahwa goal memotivasi individu untuk berprilakju tertentu sebagai usaha yang mengurangi diskrepansi kondisi di antara “where are there” dan “where they want to be”. Locke dan Latham juga mengemukakan 4 alasan mengapa goal setting dapat memperbaiki performace.

Pertama, goals mengarahkan perhatian individu terhadap tugas yang dihadapinya, sehingga fokus selalu ada pada tugas tersebut selama belum selesai. Kedua, goals ‘menggerakkan’ usaha. Makin besar tingkat kesulitannya, makin besar usaha untuk meraihnya. Ketiga, goals meningkatkan ketahanan kerja. Semakin jelas goal yang dimiliki, semakin sedikit rasa terganggu atau ‘menyerah’ saat menyelesaikan tugas. Terakhir, goals meningkatkan perkembangan strategi baru. Bila plan A tidak berhasil, maka kita akan mencoba plan B, C dan seterusnya hingga mencapai goal.

Dalam proses pendidikan dikenal 2 jenis goal, yaitu learning goal dan performance goal. Learning goal merupakan intensi individu untuk memperbaiki kemampuan dan pemahaman, betapapun sulitnya usaha yang harus dilakukan untuk mencapai goal tersebut. Performance goal merupakan intensi individu untuk mencapai kompetensi atau penampilan terbaik.

Inti learning goal pada perbaikan dan usaha belajar, sedangkan performance goal pada perolehan penilaian positif atau penghindaran terhadap efek negative dalam lingkungan maupun komunitasnya.

Dalam realita yang ada, kedua proses ini belum sepenuhnya diterapkan dalam pola pendidikan Indonesia, sehingga outputnya pun belum terlihat maksimal. Kasus kegagalan pelaksanaan UN tahun ini merupakan contoh nyata. Betapa pendidikan di Negara kita memiliki potret buram karena memenuhi standar dengan cara yang tak wajar.

Upaya untuk meningkatkan mutu pelajar dengan menaikkan nilai minimum UN secara mendadak tidak disertai kajian psikis. Shock yang banyak diderita peserta UN memunculkan trauma tersendiri hingga bereaksi pada bermacam ragam ‘tingkah aneh’, dari memarahi pengawas hingga meninggal saat mengerjakan soal Matematika.

Pelajar yang berada pada posisi under-preassure, umumnya akan berorientasi pada unjuk kerja (ego-involved). Mereka akhirnya disibukkan dengan usaha-usaha apa saja agar dapat mencapai nilai minimum dalam suatu tugas sekolah.

Mereka menggunakan langkah shortcut dalam menyelesaikan tugas, curang dan cenderung berkeinginan kuat untuk mencontek, sistem kebut sejam (SKS) setiap kali menyelesaikan tugas, mencari perhatian dengan menonjolkan prestasi luar pelajaran, hanya mau bekerja keras pada tugas yang dianggap berat, seringkali kecewa dan menyembunyikan nilai rendah hasil ujian harian, sering membandingkan nilainya dengan nilai teman, merasa lebih nyaman dalam mengerjakan tugas yang tidak memiliki kejelasan kriteria evaluasi (Stipek, dalam Woolfolk, 1998).

Hanya sedikit pelajar yang tergolong berorientasi pada tugas (task-involved learners) yang cenderung mengejar sumber-sumber bantuan yang relevan dengan usaha belajarnya dari jauh-jauh hari. Penguasaan (mastery) terhadap materi pembelajaran merupakan hal yang utama bagi kelompok pelajar ini.

Pintrich dan Schunk (1996) menyatakan bahwa tahap goal-setting sangat penting dalam self management (pengaturan diri). Bahkan, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sasaran dan pengemukaan sasaran secara terbutka merupakan elemen penting dari program pengaturan diri (Woolfolk, 1998)

Besarnya usaha yang dilakukan seseorang untuk mencapai goal, khususnya yang menuntut usaha yang lebih giat, seperti dalam pemecahan masalah dan pengorganisasian, akan bertambah dengan adanya fungsi kontrol (Skinner & Chapman, dalam Pintrich & Schunk, 1996). Kontrol tersebut bukan melulu dari pihak pendidik (baca: guru) atau dengan bahasa yang menghakimi, tapi sepenuhnya diserahkan kepada orang terdekat yang telaten lagi sabar.

Pada jangka waktu yang lebih panjang, karena mereka telah melakukan berbagai usaha dalam menyelesaikan tugas yang berkaitan dengan strukturisasi serta restrukturisasi kognitif, maka mereka akan mengembangkan lebih banyak life-skill, lebih siap untuk mencari dan mengakses informasi dan sumber belajar dan memiliki lebih banyak ide dan cara bagi pemecahan-pemecahan masalah dalam tugas ringan maupun berat.

Sudah saatnya para pemerhati pendidikan merancang kembali goal-setting pendidikan nasional, agar tak lagi terjadi ‘kecelakaan pendidikan’ yang tak kalah ‘menarik’ dari kecelakaan transportasi dan kecelakaan lainnya di negeri ini. Dengan demikian, pendidikan bukan lagi makhluk menyeramkan yang tak dapat dinikmati dengan senang hati, tapi keterpaksaan untuk menempuh pendidikan minimal sekian tahun. Selamat Hardiknas.!!

Tidak ada komentar: