Jumat, Agustus 22, 2008

Pornografi, Demo, Digital dan Pamor (Por De DiPa)

“Mas, ada aksi mendukung pengesahan RUU APP. Start dr TVRI jam 7.30, jalan ke DPR. Rencananya massif, 1000 orang”

Itu sms (yang telah diedit) dari nomer tanpa nama, tapi aku cukup percaya bahwa informasi itu valid. Akhirnya saya Cuma membalas dengan ucapan ”Makasih infonya”. Mau datang atau tidaknya, ya itu terserah aku. Toh, aku hanya diundang sebagai peliput, bukan peserta. Kebetulan, foto koleksi demo sudah lumayan, bukan cuma dari sekelompok, tapi beragam, dari yang tersopan sampai yang terrusuh, dari demo SD sampai buruh tua di Porong.

Rekan jurnalis diatasku pernah memanggilku ”arya demoholic”, mungkin gerak cepatku yang cukup lumayan jika ada info tentang demo. Kita tidak sedang mengupas masalah demo, tapi akan mengupas makin maraknya aksi pro-kontra atas pengesahan RUU Pornografi menjadi Pornogratis.

Paling tidak, sebagai orang awam, kita sudah bosan dengan ini : Pengunduran jadwal suatu peraturan. Apalagi, jika peraturan itu menyangkut orang banyak, lebih mengarah ke urusan akidah (baca : agama). Kita memang tidak bisa dengan serta-merta menganggap bahwa hanya Islam yang melarang Pornografi, hanya karena demo Pro-RUU yang selama ini dilancarkan dari kelompok Islam.

Muncullah kesimpulan bahwa RUU Pornografi merupakan produk Talibanis –mengambil bahasa dari sebuah milis. RUU yang mulai diluncurkan tahun 2006 ini telah menguras banyak tenaga dan fikiran, dan hingga kini belum juga ada hasilnya. Kian kemari, kian marak pula peredaran rekaman video mesum berdurasi singkat, dengan perkakas yang simple : HP atau kamera digital.

Aku terus terang bingung, (oknum) masyarakat lah yang menciptakan kondisi yang akhirnya bermunculan peraturan sebagai pembatas. Kalau saja tiada kasus-kasus digital semacam itu, mungkin RUU tak pernah ada di jagat wakil rakyat.
RUU ini juga strategis untuk mendongkrak pamor politisi, maklum saja, sekarang zamannya narsis bung, saatnya memburu pamor. Bagi politisi yang Pro dengan RUU ini, pamornya akan naik di kalangan moralis-ideologis. Sebaliknya, pihak yang Kontra, lonjakan dukungan akan datang dari pekerja seni (yang mengaku) cinta keindahan. Oh RUU, nasibmu tak berujung. Andai RUU adalah nama seorang pejabat, mungkin baru berakhir didemo setelah si RUU mati! Seperti Suharto yang tak pernah lagi di demo, ya karena sudah meluncur ke dunia lain.

Tidak ada komentar: